Mengobati Diri dari Sempit Hati Part 1

virus hati


SEMOGA Allah SWT senantiasa memberikan kepada kita hati yang lapang, yang jernih, karena ternyata berat sekali menghadapi hidup dengan hati yang sempit.
Hati yang lapang dapat diibaratkan sebuah lapangan yang luas membentang, walaupun ada anjing, ada ular, ada kalajengking, dan ada aneka binatang buas lainnya, pastilah lapangan akan tetap luas. Aneka binatang buas yang ada malah makin nampak kecil dibandingkan dengan luasnya lapangan. Sebaliknya, hati yang sempit dapat diibaratkan ketika kita berada di sebuah kamar mandi yang sempit, baru berdua dengan tikus saja, pasti jadi masalah. Belum lagi jika dimasukkan anjing, singa, atau harimau yang sedang lapar, pastilah akan lebih bermasalah lagi.
Entah mengapa kita sering terjebak dalam pikiran yang membuat hari-hari kita menjadi hari-hari yang tidak nyaman, yang membuat pikiran kita menjadi keruh, penuh rencana-rencana buruk. Waktu demi waktu yang dilalui sering kali diwarnai kondisi hati yang mendidih, bergolak, penuh ketidaksukaan, terkadang kebencian, bahkan lagi dendam kesumat. Capek rasanya. Menjelang tidur, otak berpikir keras menyusun rencana bagaimana memuntahkan kebencian dan kedendaman yang ada di lubuk hatinya agar habis tandas terpuaskan kepada yang dibencinya. Hari-harinya adalah hari uring-uringan makan tak enak, tidur tak nyenyak dikarenakan seluruh konsentrasi dan energinya difokuskan untuk memuaskan rasa bencinya ini.
Ah, sahabat. Sungguh alangkah menderitanya orang-orang yang disiksa oleh kesempitan hati. Dia akan mudah sekali tersinggung, dan kalau sudah tersinggung seakan-akan tidak termaafkan, kecuali sudah terpuaskan dengan melihat orang yang menyinggungnya menderita, sengsara, atau tidak berdaya.
Seringkali kita dengar orang-orang yang dililit derita akibat rasa bencinya. Padahal ternyata yang dicontohkan para rosul, para nabi, para ulama yang ikhlas, orang-orang yang berjiwa besar, bukanlah mencontohkan mendendam, membenci atau busuk hati. Yang dicontohkan mereka justru pribadi-pribadi yang berdiri kokoh bagai tembok, tegar, sama sekali tidak terpancing oleh caci maki, cemooh, benci, dendam, dan perilaku-perilaku rendah lainnya. Sungguh, pribadinya bagai pohon yang akarnya menghunjam ke dalam tanah, begitu kokoh dan kuat, hingga diterpa badai dan diterjang topan sekalipun, tetap mantap tak bergeming.
Tapi orang-orang yang lemah, hanya dengan perkara-perkara remeh sekalipun, sudah panik, amarah membara, dan dendam kesumat. Walaupun non muslim, kita bisa mengambil pelajaran dari Abraham Lincoln (mantan Presiden Amerika). Dia bila memilih pejabat tidak pernah memusingkan kalau pejabat yang dipilihnya itu suka atau tidak pada dirinya, yang dia pikirkan adalah apakah pejabat itu bisa melaksanakan tugas dengan baik atau tidak. Beberapa orang kawan dan lawan politiknya tentu saja memanfaatkan moment ini untuk menghina, mencela, dan bahkan menjatuhkannya, tapi ia terus tidak bergeming bahkan berkata dengan arifnya,
“Kita ini adalah anak-anak dari keadaan, walau kita berbuat kebaikan bagaimanapun juga, tetap saja akan ada orang yang mencela dan menghina. Karena pencelaan, penghinaan bukan selamanya karena kita ini tercela atau terhina. Pastilah dalam kehidupan ini ada saja manusia yang suka menghina dan mencela”.
Jadi, ia tidak pusing dengan hinaan dan celaan orang lain. Nabi Muhammad SAW, manusia yang sempurna, tetap saja pernah dihina, dicela, dan dilecehkan. Bagaimana mungkin model kita ini, tidak ada yang menghina? Padahal kita ini hina betulan.
Ingatlah bahwa hidup kita di dunia ini hanya satu kali, sebentar dan belum tentu panjang umur, amat rugi jikalau kita tidak bisa menjaga suasana hati ini. Camkanlah bahwa kekayaan yang paling mahal dalam mengarungi kehidupan ini adalah suasana hati kita ini. Walaupun rumah kita sempit, tapi kalau hati kita ‘plooong’ lapang akan terasa luas. Walaupun tubuh kita sakit, tapi kalau hati kita ceria, sehat, akan terasa enak. Walaupun badan kita lemes, tapi kalau hati kita tegar, akan terasa mantap. Walaupun mobil kita merek murahan, motor kita modelnya sederhana, tapi kalau hati kita indah, akan tetap terhormat. Walaupun kulit kita kehitam-hitaman, tapi kalau batinnya jelita, akan tetap mulia. Sebaliknya, apa artinya rumah yang lapang kalau hatinya sempit?[]
BERSAMBUNG
Sumber: IslamPos
E-Book Kumpulan Tausiyah Aa Gym

0 komentar:

Sebagai Anak, Jagalah Etika-etika Ini Terhadap Orang Tua

ORANG tua merupakan sosok yang paling berharga bagi kita. Keduanya sangat berpengaruh dalam hidup kita. Tanpa kasih sayang dan kesabaran mereka dalam mendidik dan membesarkan kita tentu kita tak akan mungkin mampu bertahan hidup di dunia. Allah SWT telah meletakkan rasa cinta kasih-Nya melalui mereka, hingga mereka mau berusaha menjaga dan merawat kita hingga dewasa. Lalu, apa yang telah kita berikan kepada mereka sebagai wujud terima kasih?
Tentunya sebagai anak kita harus taat dan patuh terhadap perintah kedua orang tua. Kita harus berusaha untuk membahagiakan mereka dengan membuatnya bangga kepada kita. Selain itu, kita harus menjaga etika-etika berikut ini terhadap mereka:
1. Taat kepada kedua orang tua dalam semua perintah dan larangan keduanya, selama di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan kepada Allah dan pelanggaran terhadap perintah-Nya, karena manusia tidak berkewajiban taat kepada manusia sesamanya dalam bermaksiat kepada Allah. Berdasarkan dalil-dalil berikut:
Firman Allah Ta’ala, “Dan jika keduanya memaksamu menyekutukan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulih keduanya dengan baik di dunia,” (Luqman: 15).
Sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya ketaatan itu hanya ada pada kebaikan,” (Muttafaq alaih).
Sabda Rasulullah SAW, “Tidak ada kewajiban ketaatan bagi manusia dalam bermaksiat kepada Allah.”
2. Hormat dan menghargai kepada keduanya, merendahkan suara dan memuliakan keduanya dengan perkataan dan perbuatan yang baik, tidak menghardik dan tidak mengangkat suara di atas keduanya, tidak berjalan di depan keduanya, tidak mendahulukan istri dan anak atas keduanya, tidak memanggil keduanya dengan namanya namun memanggil keduanya dengan panggilan, “Ayah, ibu,” dan tidak bepergian kecuali dengan izin dan kerelaan keduanya.

4. Menyambung hubungan kekerabatan di mana ia tidak mempunyai hubungan kekerabatan kecuali dari jalur kedua orang tuanya, mendoakan dan memintakan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji (wasiat), dan memuliakan teman-teman keduanya. []
3. Berbakti kepada keduanya dengan apa saja yang mampu ia kerjakan dan sesuai dengan kemampuannya, seperti memberi makan -pakaian kepada keduanya, mengobati penyakit keduanya, menghilangkan madzarat keduanya, dan mengalah untuk kebaikan keduanya.
Referensi: Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim/Karya: Abu Bakr Jabir Al-Jazairi/Penerbit: Darul Falah

0 komentar: