Perang Ahzab
Khandaq
berarti Parit. Nama ini digunakan untuk menyebut sebuah perang yang terjadi
pada tahun ke-5 setelah Hijrah ke Madinah (Tahun 627 Masehi). Perang Khandaq
adalah perang umat Islam melawan pasukan sekutu yang terdiri dari Bangsa
Quraisy, Yahudi, dan Gatafan. Perang Khandaq disebut juga Perang Ahzab, yang
artinya Perang Gabungan. Muaranya adalah ketidakpuasan beberapa orang Yahudi
dari Bani Nadir dan Bani Wa’il akan keputusan Rasulullah SAW yang menempatkan
mereka di luar Madinah. Dari Bani Nadir adalah Abdullah bin Sallam bin Abi
Huqaiq; Huyayy bin Akhtab; dan Kinanah ar-Rabi bin Abi Huqaiq. Sedangkan dari
Bani Wa’il adalah Humazah bin Qais dan Abu Ammar.
Peristiwa
ini terjadi pada bulan Syawal tahun kelima hijriyah, menurut pendapat yang
paling tepat. Karena sebagian ulama berbeda pendapat tentang waktu terjadinya
peristiwa besar ini. Ibnu Hazm berpendapat bahwa kejadian ini terjadi pada
tahun keempat hijriyah. Sedangkan ulama lainnya seperti Ibnul Qayyim merajihkan
bahwa peristiwa ini terjadi tahun kelima hijriyah. (Zadul Ma’ad, 3/269-270)
Awal Mula Peperangan
Di antara
sebab peristiwa ini ialah seperti yang diceritakan oleh Ibnul Qayyim (Zadul
Ma’ad, 3/270). Beliau mengatakan:
Ketika
orang-orang Yahudi melihat kemenangan kaum musyrikin atas kaum muslimin pada
perang Uhud, dan mengetahui janji Abu Sufyan untuk memerangi muslimin pada
tahun depan (sejak peristiwa itu), berangkatlah sejumlah tokoh mereka seperti
Sallam bin Abil Huqaiq, Sallam bin Misykam, Kinanah bin Ar-Rabi’, dan lain-lain
ke Makkah menjumpai beberapa tokoh kafir Quraisy untuk menghasut mereka agar
memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan mereka menjamin akan
membantu dan mendukung kaum Quraisy dalam rencana itu. Quraisy pun menyambut
hasutan itu.
Kekuatan Pasukan Quraisy
Setelah
itu, tokoh-tokoh Yahudi tadi menuju Ghathafan dan beberapa kabilah Arab lainnya
untuk menghasut mereka. Maka disambutlah hasutan itu oleh mereka yang
menerimanya. Kemudian, keluarlah Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan dengan 4.000
personil, diikuti Bani Salim, Bani Asad, Bani Fazarah, Bani Asyja’, dan Bani
Murrah.
Namun
musuh-musuh Allah dari umat Yahudi belum puas terhadap hasil yang dilakukan,
setelah mereka mengetahui bahwa Quraisy telah menerima ajakan mereka untuk
memerangi Rasulullah SAW dan orang-orang beriman di Madinah, mereka keluar dan
pergi ke suku Gothofan dari Qais Gailan, mengajak mereka untuk memerangi
Rasulullah SAW seperti halnya yang mereka lakukan terhadap Quraisy, dan
menyatakan bahwa mereka (Yahudi) akan selalu bersama mereka. Mereka tetap
tinggal di tempat mereka hingga suku Gotofhan menyetujuinya. Kemudian setelah
itu mereka menemui Bani Fazarah dan Bani Murrah, dan berhasil mengajak mereka
untuk memerangi Rasulullah SAW dan umat Islam di Madinah.
Oleh
karena itulah pasukan begitu banyak dan peralatan begitu lengkap, suku Quraisy
yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb, suku Gotofahn di pimpin oleh Uyaynah
bin Hisn bin Hudzaifah bin Badr pada Bani Fazarah, Bani Murrah di pimpin oleh
Harits bin Auf, Bani Asyja’ di pimpin oleh Mas’ud bin Rakhilah bin Nuwairah bin
Tharif bin Samhah bin Gotofahn. Mereka bergerak dengan jumlah yang banyak dan
peralatan yang lengkap untuk satu tujuan; perang melawan Rasulullah SAW. Mereka
bersepakat untuk berkumpul di Khaibar, dan jumlah mereka dari berbagai kelompok
dan suku adalah 10 ribu pasukan, adapun pucuk pimpinan dalam perang tersebut
dipegang oleh Abu Sufyan bin Harb
Strategi Parit dari Sahabat
Salman Al-Farisi
Ketika mendengar
langkah-langkah yang dilakukan oleh yahudi dan berhasil mengumpulkan pasukan
dari berbagai suku Arab, Rasulullah melakukan musyawarah dengan para sahabat
untuk menghadapi pasukan yang banyak tersebut. Pada saat itu jumlah umat Islam
masih sedikit; hanya sekitar 3 ribu personil, padahal jumlah pasukan musuh
telah mencapai 10 ribu personil. Tentunya mereka beranggapan tidak ada daya dan
kekuatan untuk menghadapi mereka secara konfrontatif, kecuali dengan membangun
benteng sehingga dapat menghalangi langkah musuh. Umat Islam ketika itu
berhadapan dengan dua buah pilihan yang sama beratnya. Mereka tidak mungkin
menyongsong pasukan lawan karena sama saja bunuh diri. Namun untuk bertahan
pun, jumlah mereka terlampau sedikit.
Namun
Salman Al-Farisi punya ide lain. Beliau berkata: ”Wahai Rasulullah, sewaktu
kami di Persia, jika kami diserang, kami membuat parit, alangkah baik jika kita
juga membuat Parit sehingga dapat menghalangi dari melakukan serangan”.
Secara
cepat nabi saw menyutujui pendapat Salman. Maka dari itu, membuat parit menjadi
peristiwa pertama yang disaksikan oleh Arab dan umat Islam, karena mereka belum
pernah menyaksikan sebelumnya parit sebagai sarana untuk berperang.
Inilah asal muasal nama Perang Khandaq.
Inilah asal muasal nama Perang Khandaq.
Pekerjaan Membuat Parit
Akhirnya
Rasulullah dan para sahabat keluar dari kota Madinah dan berkemah di salah satu
tempat di bukit gunung Sala’ sehingga membelakangi kota Madinah. Kemudian
mereka mulai melakukan penggalian parit untuk memisahkan antara mereka dan
musuh. Pada saat itu umat Islam berjumlah 3 ribu personil. Rasulullah mulai
membuat peta penggalian; dimulai dari Ajam Syaikhain (benteng yang dekat dengan
kota Madinah yang diberi nama Syaikhain) yang terletak di ujung Bani haritsah;
dan memanjang hingga mencapai garis di Al-Madzadz –salah tempat di Madinah- dan
kemudian lebarnya 40 hasta pada setiap 10 lubang.
Selama
membangun parit dalam waktu 6 hari, pertahanan kota di bagian lain juga
diperkuat. Wanita dan anak-anak dipindahkan ke rumah yang kokoh dan dijaga
ketat. Bongkahan batu-batu diletakkan di samping parit untuk melempari pasukan
lawan. Sementara sisi kota yang tidak dibuat parit, diserahkan pengamanannya
pada Bani Quraizhah.
Penerapan
strategi ini sangat tepat sebab pasukan lawan tidak mengetahui pertahanan
menggunakan parit. Sebelumnya, mereka biasa berperang dengan tenik maju-mundur;
menyerang, dan lari. Terbukti strategi ini cukup bisa membendung para sekutu.
Selama satu bulan penuh, tidak ada kontak langsung antara kedua pihak kecuali
saling lempar panah.
Umat
Islam bersama Rasulullah saw mulai bekerja membuat parit dan mereka
menganggapnya sebagai ibadah yang akan ada ganjarannya kelak, mereka saling
bergotong royong dan saling membantu. Rasulullah saw begitu giat bekerja
sehingga umat Islampun semangat melakukannya.
Namun di
dalam pekerjaan, kaum munafiqin melakukan manuver untuk memperlambat pekerjaan,
mereka kadang lamban bekerja, pergi lalu lalang kesana kemari tanpa tujuan yang
jelas dan bahkan mereka sengaja pergi ke keluarga mereka tanpa sepengetahuan
Rasulullah saw, disamping ada sebagian umat Islam yang jika terdesak untuk
pulang maka dia memberikan wakil dari pekerjaannya dan meminta kepada
Rasulullah saw izin agar dapat memenuhi hajatnya, dan jika selesai menunaikan
hajatnya, mereka kembali lagi pada pekerjaan semula, karena berharap kebaikan
di dalamnya dan keridhaan Allah.
Dari
peristiwa tersebut turunlah Firman ALLAH SWT:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِذَا كَانُوْا
مَعَهُ عَلىَ أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوْا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوْهُ … إلى
قوله… َاسْتَغْفِرِ اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Sesungguhnya
yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu
urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah)
sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin
kepadamu (Muhammad) mereka Itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, Maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan,
berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah
ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (QS An-Nuur:62)
Merekapun
mulai bekerja siang malam menggali parit itu. Bahkan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam ikut serta mencangkul, mengangkat pasir dan seterusnya.
Demikian diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya dari Al-Barra`
radhiyallahu ‘anhu:
رَأَيْتُ
النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ وَهُوَ يَنْقُلُ
التُّرَابَ حَتَّى وَارَى التُّرَابُ شَعْرَ صَدْرِهِ وَكَانَ رَجُلاً كَثِيْرَ
الشَّعْرِ وَهُوَ يَرْتَجِزُ بِرَجَزِ عَبْدِ اللهِ: اللَّهُمَّ لَوْ لاَ أَنْتَ
مَا اهْتَدَيْنَا وَلاَ تَصَدَّقْنَا وَلاَ صَلَّيْنَا فَأَنْزِلَنْ سَكِيْنَةً
عَلَيْنَا وَثَبَّتِ اْلأَقْدَامَ إِنْ لاَقَيْنَا إِنَّ اْلأَعْدَاءَ قَدْ
بَغَوْا عَلَيْنَا إِذَا أَرَادُوا فِتْنَةً أَبَيْنَا يَرْفَعُ بِهَا صَوْتَهُ
“Saya melihat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peristiwa Khandaq sedang mengangkut tanah
sampai tanah itu menutupi bulu dada beliau. Dan beliau adalah laki-laki yang
lebat bulu dadanya. Ketika itu beliau melantunkan syair Abdullah bin Rawahah
sambil menyaringkan suaranya: “Ya Allah kalau bukan karena Engkau niscaya kami
tidak mendapat petunjuk Tidak bersedekah dan tidak pula shalat. Maka
turunkanlah ketenangan atas kami. Dan kokohkan kaki kami ketika bertemu
(musuh). Sesungguhnya musuh-musuh telah mendzalimi kami. Bila mereka
menginginkan fitnah, tentu kami menolaknya”
Dan
ditengah pekerjaan mereka, umat Islam dikejutkan dengan suatu peristiwa,
seperti yang diriwayatkan oleh Amru bin Auf; ketika saya bersama Salman,
Hudzaifah bin Al-Yamani, Nu’man bin Muqrin Al-Mazni, serta 6 sahabat dari
Anshar dalam lubang 40 hasta, kami membuat lubang dibawah salah satu pintu
hingga sampai ada bau wangi, maka Allah mengeluarkan dari perut bumi batu besar
berwarna putih, batu putih itu bersinar dan terdapat di dalamnya api dan keluar
darinya, namun batu itu membuat patah alat yang kami gunakan untuk menggali,
sehingga membuat kami cemas. Maka kamipun berkata: “Wahai Salman, pergilah
menghadap Rasul dan sampaikan berita peristiwa tentang batu besar ini!! Apakah
kita akan menyimpangkan lubang darinya karena tempatnya begitu dekat, atau
apakah beliau punya perintah lain; karena kami tidak mau menyimpang dari peta
yang telah beliau buat..
Maka
Salmanpun pergi menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menyampaikan peristiwa yang terjadi, sehingga Rasulullah saw datang dan melihat
apa yang terjadi; maka Salman berkata: “Wahai Rasulullah, demi Allah, telah
keluar batu besar berwarna putih dan bersinar dari parit ini, hingga mematahkan
besi yang kami pergunakan untuk menggali parit, dan membuat kami khawatir,
karena itu perintahanlah kepada kami, apa yang seharusnya kami lakukan, karena
kami tidak ingin menyimpang (melanggar) dari garis yang telah engkau buat”.
Maka
Rasulullah saw pun turun bersama Salman ke dalam Khandaq, dan bersama sahabat
lainnya.
Dalam
riwayat Ahmad dan An-Nasa`i, dari Abu Sukainah radhiyallahu ‘anhu dari salah
seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya dengan sanad
yang jayyid, disebutkan:
لَمَّا
أَمَرَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَفْرِ الْخَنْدَقِ عَرَضَتْ
لَهُمْ صَخْرَةٌ حَالَتْ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْحَفْرِ فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَخَذَ الْمِعْوَلَ وَوَضَعَ رِدَاءَهُ
نَاحِيَةَ الْخَنْدَقِ وَقَالَ: تَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَ
مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. فَنَدَرَ ثُلُثُ
الْحَجَرِ وَسَلْمَانُ الْفَارِسِيُّ قَائِمٌ يَنْظُرُ فَبَرَقَ مَعَ ضَرْبَةِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرْقَةٌ ثُمَّ ضَرَبَ
الثَّانِيَةَ وَقَالَ: تَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَ مُبَدِّلَ
لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. فَنَدَرَ الثُّلُثُ اْلآخَرُ
فَبَرَقَتْ بَرْقَةٌ فَرَآهَا سَلْمَانُ ثُمَّ ضَرَبَ الثَّالِثَةَ وَقَالَ:
تَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ
السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. فَنَدَرَ الثُّلُثُ الْبَاقِي وَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ وَجَلَسَ، قَالَ سَلْمَانُ:
يَا رَسُوْلَ اللهِ رَأَيْتُكَ حِيْنَ ضَرَبْتَ مَا تَضْرِبُ َرْبَةً إِلاَّ
كَانَتْ مَعَهَا بَرْقَةٌ. قَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: يَا سَلْمَانُ، رَأَيْتَ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: إِي، وَالَّذِي بَعَثَكَ
بِالْحَقِّ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: فَإِنِّي حِيْنَ ضَرَبْتُ الضَّرْبَةَ
اْلأُولَى رُفِعَتْ لِي مَدَائِنُ كِسْرَى وَمَا حَوْلَهَا وَمَدَائِنُ كَثِيْرَةٌ
حَتَّى رَأَيْتُهَا بِعَيْنَيَّ. قَالَ لَهُ مَنْ حَضَرَهُ مِنْ أَصْحَابِهِ: يَا
رَسُوْلَ اللهِ، ادْعُ اللهَ أَنْ يَفْتَحَهَا عَلَيْنَا وَيُغَنِّمَنَا
دِيَارَهُمْ وَيُخَرِّبَ بِأَيْدِيْنَا بِلاَدَهُمْ. فَدَعَا رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ. ثُمَّ ضَرَبْتُ الضَّرْبَةَ
الثَّانِيَةَ فَرُفِعَتْ لِي مَدَائِنُ قَيْصَرَ وَمَا حَوْلَهَا حَتَّى
رَأَيْتُهَا بِعَيْنَيَّ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ ادْعُ اللهَ أَنْ
يَفْتَحَهَا عَلَيْنَ وَيُغَنِّمَنَا دِيَارَهُمْ وَيُخَرِّبَ بِأَيْدِيْنَا
بِلاَدَهُمْ. فَدَعَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ.
ثُمَّ ضَرَبْتُ الثَّالِثَةَ فَرُفِعَتْ لِي مَدَائِنُ الْحَبَشَةِ وَمَا
حَوْلَهَا مِنَ الْقُرَى حَتَّى رَأَيْتُهَا بِعَيْنَيَّ. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ: دَعُوا الْحَبَشَةَ مَا
وَدَعُوْكُمْ، وَاتْرُكُوا التُّرْكَ مَا تَرَكُوْكُمْ
“Ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan penggalian khandaq, ternyata ada sebongkah batu
sangat besar menghalangi penggalian itu. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bangkit mengambil kapak tanah dan meletakkan mantelnya di ujung parit,
dan berkata: “Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang
benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan
Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Terpecahlah sepertiga batu
tersebut. Salman Al-Farisi ketika itu sedang berdiri memandang, dia melihat
kilat yang memancar seiring pukulan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian beliau memukul lagi kedua kalinya, dan membaca: “Telah sempurnalah
kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang
dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” Pecah pula sepertiga batu itu, dan Salman melihat lagi kilat
yang memancar ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul batu
tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul sekali lagi dan
membaca: “Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang
benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan
Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Dan untuk ketiga kalinya,
batu itupun pecah berantakan. Kemudian beliau mengambil mantelnya dan duduk.
Salman berkata: “Wahai Rasulullah, ketika anda memukul batu itu, saya melihat
kilat memancar.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:
“Wahai Salman, engkau melihatnya?” Kata Salman: “Demi Dzat Yang mengutus anda
membawa kebenaran. Betul, wahai Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Ketika saya memukul itu, ditampakkan kepada saya kota-kota
Kisra Persia dan sekitarnya serta sejumlah kota besarnya hingga saya melihatnya
dengan kedua mata saya.” Para shahabat yang hadir ketika itu berkata: “Wahai Rasulullah,
doakanlah kepada Allah agar membukakannya untuk kami dan memberi kami ghanimah
rumahrumah mereka, dan agar kami hancurkan negeri mereka dengan tangan-tangan
kami.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa. “Kemudian saya
memukul lagi kedua kalinya, dan ditampakkan kepada saya kota-kota Kaisar Romawi
dan sekitarnya hingga saya melihatnya dengan kedua mata saya.” Para shahabat
berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar membukakannya untuk
kami dan memberi kami ghanimah rumah-rumah mereka, dan agar kami hancurkan
negeri mereka dengan tangan-tangan kami.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pun berdoa. “Kemudian pada pukulan ketiga, ditampakkan kepada saya
negeri Ethiopia dan desa-desa sekitarnya hingga saya melihatnya dengan kedua
mata saya.” Lalu beliau berkata ketika itu: “Biarkanlah Ethiopia (Habasyah)
selama mereka membiarkan kalian, dan tinggalkanlah Turki selama mereka
meninggalkan kalian.”
Sepeninggal
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, terjadilah apa yang diberitakan oleh
beliau. Kedua negara adikuasa masa itu berhasil ditaklukkan kaum muslimin,
dengan izin Allah.
Dan
diriwayatkan oleh Anas ra bahwa kaum Anshar dan Muhajirin mensenandungkan syair
saat menggali parit dan memindahkan tanda dari tempatnya:
نحن الذين
بايعوا محمدا على الإسلام ما بقينا أبدا
Kamilah yang telah membai’at nabi Muhammad
Sehingga Islam menjadi keyakinan kami selamanya
maka
nabipun menjawab senandung mereka dengan ungkapan
إِنَّ
الْخَيْرَ خَيْرُ الآخِرَةِ أَوْ قَالَ اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُ
الآخِرَهْ فَاغْفِرْ لِلاَْنْصَارِ وَالْمُهَاجِرَة
“Sesungguhnya kebaikan itu adalah kebaikan akhirat, atau dalam
ungkapan lain : Sesungguhnya tidak ada kebaikan kecuali kebaikan akhirat, Ya
Allah ampunilah kaum muhajirin dan anshar” [6]
Peperangan dimulai
Ketika
kaum musyrikin sampai di kota Madinah, mereka terkejut melihat pertahanan yang
dibuat kaum muslimin. Belum pernah hal ini terjadi pada bangsa Arab. Akhirnya
mereka membuat perkemahan mengepung kaum muslimin. Tidak terjadi pertempuran
berarti di antara mereka kecuali lemparan panah dan batu. Namun sejumlah ahli
berkuda musyrikin Quraisy, di antaranya ‘Amr bin ‘Abdi Wadd, ‘Ikrimah dan
lainnya berusaha mencari jarak lompat yang lebih sempit. Beberapa orang
berhasil menyeberangi parit. Merekapun menantang para pahlawan muslimin untuk
perang tanding.
Perang Tanding
‘Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyambut tantangan tersebut. ‘Ali berkata:
“Wahai ‘Amr, kau pernah menjanjikan kepada Allah, bahwa tidak seorangpun lelaki
Quraisy yang menawarkan pilihan kepadamu salah satu dari dua hal melainkan kau
terima hal itu darinya.”
Kata
‘Amr: “Betul.”
Kata
‘Ali: “Maka sungguh, saya mengajakmu kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kepada
Islam.”
‘Amr
menukas: “Aku tidak membutuhkan hal itu.”
Kata ‘Ali
pula: “Kalau begitu saya menantangmu agar turun (bertanding).”
Kata
‘Amr: “Wahai anak saudaraku, demi Allah. Aku tidak suka membunuhmu.”
‘Ali
menjawab tegas: “Tapi saya demi Allah, ingin membunuhmu.”
‘Amr
terpancing, diapun turun dan membunuh kudanya, lalu menghadapi ‘Ali.
Mulailah
keduanya saling serang, tikam menikam dengan serunya. Namun pedang ‘Ali bin Abi
Thalib berhasil membunuh ‘Amr. Akhirnya para prajurit berkuda kafir Quraisy
lainnya melarikan diri.
Tanda-tanda Nubuwwah dalam
Peristiwa Khandaq
Dalam
peristiwa bersejarah ini, banyak terdapat kejadian luar biasa sebagai salah
satu tanda kenabian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sejarawan
menukilkan sebagiannya:
Di
antaranya apa yang dikisahkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu, dalam Shahih
Al-Bukhari (Kitabul Maghazi), bahwa para sahabat mengadukan kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adanya tanah keras yang tidak sanggup mereka
gempur. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun, dalam keadaan
mereka (termasuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak merasakan
makanan sejak tiga hari. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengikatkan dua buah batu ke perut beliau untuk menahan lapar.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun ke dalam parit lalu meminta seember air,
beliau berdoa dan meludahi air itu lalu menuangkannya ke bongkahan tanah keras
tersebut. Kemudian beliau memukul tanah itu dengan cangkul hingga menjadi debu.
Ibnu
Hisyam menukil pula dari Ibnu Ishaq yang menerima dari Sa’id bin Mina, bahwa
dia diceritakan tentang puteri Nu’man bin Basyir yang masih kecil, diperintah
oleh ibunya, ‘Amrah bintu Rawahah (saudara perempuan Abdullah bin Rawahah)
membawa beberapa butir kurma untuk bekal makan siang ayah dan khali (pamannya).
Setelah bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia ditanya tentang
apa yang dibawanya. Gadis kecil itu menjawab beberapa butir kurma yang akan
diberikan kepada ayah dan pamannya untuk makan siang. Oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kurma itu diminta, kemudian beliau letakkan di
atas sehelai kain dan beliau doakan. Setelah itu beliau suruh orang memanggil
para penggali untuk makan. Merekapun datang mengambil kurma yang ada di atas
kain itu dan makan sampai kenyang, sementara kurma itu tetap berserakan di atas
kain tersebut.
Hidangan Keluarga Jabir radhiyallahu
‘anhu
Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dalam Shahih keduanya dari Jabir bin Abdullah:
Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dalam Shahih keduanya dari Jabir bin Abdullah:
لَمَّا
حُفِرَ الْخَنْدَقُ رَأَيْتُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
خَمَصًا شَدِيْدًا فَانْكَفَأْتُ إِلَى امْرَأَتِي فَقُلْتُ: هَلْ عِنْدَكِ شَيْءٌ
فَإِنِّي رَأَيْتُ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمَصًا
شَدِيْدًا؟ فَأَخْرَجَتْ إِلَيَّ جِرَابًا فِيْهِ صَاعٌ مِنْ شَعِيْرٍ وَلَنَا
بُهَيْمَةٌ دَاجِنٌ فَذَبَحْتُهَا وَطَحَنَتِ الشَّعِيْرَ فَفَرَغَتْ إِلَى
فَرَاغِي وَقَطَّعْتُهَا فِي بُرْمَتِهَا ثُمَّ وَلَّيْتُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: لاَ تَفْضَحْنِي بِرَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِمَنْ مَعَهُ. فَجِئْتُهُ فَسَارَرْتُهُ
فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ذَبَحْنَا بُهَيْمَةً لَنَا وَطَحَنَّا صَاعًا مِنْ
شَعِيْرٍ كَانَ عِنْدَنَا، فَتَعَالَ أَنْتَ وَنَفَرٌ مَعَكَ. فَصَاحَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا أَهْلَ الْخَنْدَقِ، إِنَّ جَابِرًا
قَدْ صَنَعَ سُوْرًا فَحَيَّ هَلاً بِهَلِّكُمْ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تُنْزِلُنَّ بُرْمَتَكُمْ وَلاَ تَخْبِزُنَّ
عَجِيْنَكُمْ حَتَّى أَجِيْءَ. فَجِئْتُ وَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْدُمُ النَّاسَ حَتَّى جِئْتُ امْرَأَتِي فَقَالَتْ: بِكَ
وَبِكَ. فَقُلْتُ: قَدْ فَعَلْتُ الَّذِي قُلْتِ. فَأَخْرَجَتْ لَهُ عَجِيْنًا
فَبَصَقَ فِيْهِ وَبَارَكَ ثُمَّ عَمَدَ إِلَى بُرْمَتِنَا فَبَصَقَ وَبَارَكَ
ثُمَّ قَالَ: ادْعُ خَابِزَةً فَلْتَخْبِزْ مَعِي وَاقْدَحِي مِنْ بُرْمَتِكُمْ
وَلاَ تُنْزِلُوْهَا. وَهُمْ أَلْفٌ، فَأُقْسِمُ بِاللهِ لَقَدْ أَكَلُوا حَتَّى
تَرَكُوْهُ وَانْحَرَفُوا وَإِنَّ بُرْمَتَنَا لَتَغِطُّ كَمَا هِيَ وَإِنَّ
عَجِيْنَنَا لَيُخْبَزُ كَمَا هُوَ
“Ketika
penggalian khandaq, aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
keadaan sangat lapar, maka akupun kembali kepada isteriku dan berkata
kepadanya: “Apakah engkau punya sesuatu? Karena aku melihat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sangat lapar”.
Isteriku
mengeluarkan karung kulit yang di dalamnya terdapat segantang gandum. Dan kami
masih punya seekor kambing kecil. Akupun mulai menyembelih kambing itu
sementara isteriku mengadon tepung (membuat roti). Dia pun menyelesaikan
pekerjaannya bersamaan dengan aku menyelesaikan pekerjaanku. Lalu aku
memotong-motongnya di dalam burmah (periuk dari batu), kemudian aku kembali
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Isteriku berkata: “Jangan
membuatku malu di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya”.
Akupun
menemui beliau dan membisiki beliau, aku katakan: “Wahai Rasulullah, kami sudah
menyembelih seekor kambing kecil dan mengadon segantang gandum yang kami
punyai. Jadi, kemarilah engkau dan beberapa sahabatmu”.
Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berseru: ‘Wahai para penggali
parit, sesungguhnya Jabir sudah menyiapkan hidangan. Marilah segera, kalian
semua!’
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Jangan turunkan periuk dan adonan kalian sampai aku datang.’
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Jangan turunkan periuk dan adonan kalian sampai aku datang.’
Akupun
pulang dan datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahului kaum
muslimin hingga aku menemui isteriku.
Dia berkata: ‘Gara-gara kamu, gara-gara kamu.’
Aku katakan: ‘Sudah aku lakukan apa yang kamu katakan.’
Dia berkata: ‘Gara-gara kamu, gara-gara kamu.’
Aku katakan: ‘Sudah aku lakukan apa yang kamu katakan.’
Lalu dia
pun mengeluarkan adonan itu dan menyerahkannya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliaupun meludahinya (meniup/menyemburkan sedikit air liur)
dan mendoakan keberkahan padanya, kemudian menuju periuk kami, lalu meludahi
dan mendoakan keberkahan padanya. Kemudian beliau berkata: ‘Panggil si pembuat
roti agar dia buat roti bersamaku dan ciduklah dari periuk kalian, tapi jangan
diturunkan.’
Mereka
ketika itu berjumlah seribu orang. Aku bersumpah demi Allah, sungguh semuanya
makan sampai mereka tinggalkan (bersisa) dan kembali pulang, sementara periuk
kami benar-benar masih mendidih (isinya) sebagaimana awalnya, dan adonan itu
juga masih seperti semula.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah
radhiyallahu ‘anhuma)
Setibanya
pasukan sekutu di pinggir kota Madinah, mereka terkejut melihat “benteng”
pertahanan yang dibuat kaum muslimin bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Strategi semacam ini sama sekali belum pernah dikenal di kalangan
bangsa Arab. Mereka berusaha mencari celah sempit untuk masuk ke garis
pertahanan kaum muslimin, namun tidak berhasil kecuali beberapa gelintir ahli
berkuda mereka seperti ‘Amr bin Abdi Wadd, ‘Ikrimah, dan lainnya. Namun mereka
inipun lari tunggang langgang setelah jago andalan mereka mati dibunuh ‘Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Akhirnya,
sekutu membuat perkemahan di seberang parit mengepung kaum muslimin selama satu
bulan. Saling lempar panah dan batu masih terjadi dari kedua belah pihak.
Pengkhianatan Yahudi Quraizhah
Sebagaimana
telah diceritakan diatas, beberapa tokoh Yahudi menemui para pemimpin Quraisy
dan kabilah Arab lainnya untuk menghasut mereka agar memerangi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin. Orang-orang Yahudi ini
menjanjikan akan membantu Quraisy dan sekutu-sekutunya untuk menumpas kaum
muslimin. Kemudian tokoh-tokoh Yahudi ini menemui pimpinan Yahudi Bani
Quraizhah, Ka’b bin Asad. Mulanya Ka’b menolak menerima kedatangan Huyyai bin
Akhthab, tapi dia terus membujuk sampai diterima oleh Ka’b.
Setelah
Huyyai masuk, dia berkata: “Aku datang membawa kemuliaan masa. Aku datang
dengan Quraisy, Ghathafan, dan Asad berikut para pemimpin mereka untuk
memerangi Muhammad.” Aku datang kepadamu dengan membawa pasukan Quraisy beserta
para pemimpinnya yang telah kuturunkan di sebuah lembah di dekat Raumah, dan
suku Ghatfahan beserta para tokohnya yang telah kuturunkan di ujung Nurqma di
samping Uhud. Mereka telah berjanji kepadaku untuk tidak meninggalkan temapat
sampai kita berhasil menumpas Muhammad dan orang-orang yang bersamanya”
Ka‘ab
menjawab: “Demi Allah, kamu datang kepadaku dengan membawa kehinaan sepanjang
jaman … Celaka engkau wahai Huyay. Tinggalkan dan biarkanlah aku karena aku
tidak melihat Muhammad kecuali sebagai seorang yang jujur dan setia.“
Namun
lama kelamaan karena bujuk rayu Huyay, Ka’b termakan bujukan tersebut. Diapun
melanggar perjanjian yang telah disepakati antara orang-orang Yahudi Bani
Quraizhah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin.
Namun dia mensyaratkan, apabila mereka tidak berhasil mengalahkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hendaknya Huyyai masuk ke dalam bentengnya
bergabung bersamanya menerima apa yang ditimpakan kepada mereka. Huyyai
menyetujuinya.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar pula pengkhianatan ini. Beliau mengutus
beberapa sahabat; Sa’d bin ‘Ubadah, Sa’d bin Mu’adz, dan Abdullah bin Rawahah
serta Khawwat bin Jubair radhiyallahu ‘anhum untuk mencari berita. Ternyata
keadaannya jauh lebih buruk dari yang mereka bayangkan. Dengan terang-terangan
orang-orang Yahudi mencaci maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menampakkan permusuhan mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertakbir dan menenangkan para sahabat: “Bergembiralah kalian.”
Tapi
keadaan semakin mencekam. Kaum muslimin mulai merasakan tekanan. Kemunafikan
mulai muncul. Sebagian Bani Haritsah minta izin pulang ke kota, dengan alasan
rumah-rumah mereka tidak terjaga. Bani Salimah pun mulai merasa lemah, tapi
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengokohkan hati mereka sehingga mereka tetap
berjuang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman menceritakan kejadian ini:
إِذْ
جَاءُوْكُمْ مِنْ فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ
اْلأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوْبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّوْنَ بِاللهِ
الظُّنُوْنَا. هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُوْنَ وَزُلْزِلُوا زِلْزَالاً
شَدِيْدًا. وَإِذْ يَقُوْلُ الْمُنَافِقُوْنَ وَالَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ
مَرَضٌ مَا وَعَدَنَا اللهُ وَرَسُوْلُهُ إِلاَّ غُرُوْرًا. وَإِذْ قَالَتْ
طَائِفَةٌ مِنْهُمْ يَا أَهْلَ يَثْرِبَ لاَ مُقَامَ لَكُمْ فَارْجِعُوا
وَيَسْتَأْذِنُ فَرِيْقٌ مِنْهُمُ النَّبِيَّ يَقُوْلُوْنَ إِنَّ بُيُوْتَنَا
عَوْرَةٌ وَمَا هِيَ بِعَوْرَةٍ إِنْ يُرِيْدُوْنَ إِلاَّ فِرَارًا
“(Yaitu) ketika mereka datang
kepada kalian dari atas dan dari bawah kalian, dan ketika tidak tetap lagi
penglihatan (kalian) dan hati kalian naik menyesak sampai ke tenggorokan dan
kalian berprasangka terhadap Allah dengan bermacam-macam sangkaan. Di situlah
diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang
sangat. Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang
berpenyakit dalam hatinya berkata: ‘Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan
kepada kami melainkan tipu daya.’ Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara
mereka berkata: ‘Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagi kalian,
maka kembalilah kalian.’ Dan sebagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk
kembali pulang) dengan berkata: ‘Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak
ada penjaga).’ Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain
hanyalah hendak lari.” (Al-Ahzab: 10-13)
Melihat
hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mengajak damai ‘Uyainah
bin Hishn dan Al-Harits bin ‘Auf, pemuka suku Ghathafan dengan menyerahkan
sepertiga kurma Madinah agar mereka menarik pasukannya. Tawar menawarpun
terjadi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta pendapat Sa’d bin
‘Ubadah dan Sa’d bin Mu’adz tentang masalah ini.
Keduanya
memberikan jawaban tegas: “Wahai junjungan kami, kalau Allah yang memerintahkan
anda melakukan ini, kami dengar dan taat. Tapi kalau ini hanya sekedar siasat
dari anda, maka kami tidak membutuhkannya. Sungguh, dahulu kami dan mereka
sama-sama dalam keadaan menyekutukan Allah dan menyembah berhala, namun mereka
tidak pernah bisa menikmati kurma itu kecuali dengan membelinya. Sekarang, di
saat Allah telah memuliakan kami dengan Islam, memberi kami hidayah/taufik
kepadanya, memuliakan kami pula (dengan mengutus anda kepada kami), apakah kami
akan serahkan harta kami kepada mereka?! Demi Allah, kami tidak berikan kepada
mereka apapun kecuali pedang!”
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui pendapat mereka berdua. Beliau
berkata: “Itu hanyalah siasat yang aku buat karena aku melihat bangsa Arab
menyerang kalian secara serentak.
Strategi Sahabat Nu’man bin
Mu’az
Pertolongan
Allah yang kedua lahir melalui kepiawaian Nu‘aim bin Mas‘du, seorang dari
Kabilah Gatafan yang menjadi muallaf tanpa sepengetahuan teman-temannya. Ia
meminta tugas kepada Rasulullah, Dia datang kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya saya telah masuk
Islam. Perintahkanlah saya berbuat sesuatu apa yang anda inginkan.”
Kepadanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan :
“Diantara kita, engkau adalah satu-satunya orang yang dapat melaksanakan tugas itu. Bila engkau sanggup, lakukanlah tugas itu untuk menolong kita. Ketahuilah bahwa peperangan, sesungguhnya adalah tipu muslihat.“
“Diantara kita, engkau adalah satu-satunya orang yang dapat melaksanakan tugas itu. Bila engkau sanggup, lakukanlah tugas itu untuk menolong kita. Ketahuilah bahwa peperangan, sesungguhnya adalah tipu muslihat.“
Setelah
itu Nu‘aim pergi mendatangi pemimpin-pemimpin Quraisy. Kepada mereka Nu‘aim
memberitahukan bahwa Bani Quraidlah telah menyesal atas apa yang mereka lakukan
dan secara sembunyi-sembunyi mereka telah melakukan kesepakatan bersama Nabi
saw untuk menculik beberapa peimpin Quraisy dan Ghatfahan untuk diserahkan
kepada Nabi saw untuk dibunuhnya. Karena itu, bila orang-orang Yahudi itu
datang kepada kalian untuk meminta beberapa orang sebagai sandera, janganlah
kalian menyerahkan seorang pun kepada mereka.
Kemudian
dia berkata: “Wahai Bani Quraizhah sesungguhnya kalian telah memerangi Muhammad
. Sementara jika orang-orang Quraisy mendapat kesempatan tentulah mereka
manfaatkan. Jika tidak niscaya mereka akan segera kembali ke kampung halaman
mereka dan membiarkan kalian menghadapi Muhammad . Sudah tentu dia akan
menghabisi kalian.”
Mereka bertanya: “Lantas apa yg harus kami lakukan wahai Nu’aim?”
Kata Nu’aim: “Kalian jangan mau berperang bersama Quraisy sampai mereka memberi jaminan.” Mereka pun berkata: “Sungguh engkau telah memberikan saran yg tepat.”
Mereka bertanya: “Lantas apa yg harus kami lakukan wahai Nu’aim?”
Kata Nu’aim: “Kalian jangan mau berperang bersama Quraisy sampai mereka memberi jaminan.” Mereka pun berkata: “Sungguh engkau telah memberikan saran yg tepat.”
Selanjutnya
Nu’aim datang menemui orang-orang Quraisy kata kepada mereka: “Kalian sudah
tahu kecintaanku kepada kalian juga nasihat-nasihatku.”
Kata
mereka: “Benar.”
Kata Nu’aim lagi: “Sebetulnya orang-orang Yahudi menyesal melanggar perjanjian mereka dengan Muhammad dan para sahabatnya. Mereka sudah mengirim utusan kepada } bahwa mereka meminta jaminan dari kalian agar kalian serahkan kepada lantas mereka akan melobi kalian. Kalau mereka meminta jaminan kepada kalian janganlah kalian berikan.”
Kata Nu’aim lagi: “Sebetulnya orang-orang Yahudi menyesal melanggar perjanjian mereka dengan Muhammad dan para sahabatnya. Mereka sudah mengirim utusan kepada } bahwa mereka meminta jaminan dari kalian agar kalian serahkan kepada lantas mereka akan melobi kalian. Kalau mereka meminta jaminan kepada kalian janganlah kalian berikan.”
Setelah
itu Nu’aim mendatangi orang-orang Ghathafan dan mengatakan kalimat yang sama
dengan yang diucapkan kepada yang lainnya.
Begitu
masuk malam Sabtu bulan Syawwal pasukan sekutu itu menemui tokoh-tokoh Yahudi
dan mengatakan:
“Kami
bukan penduduk asli di sini perbekalan dan sepatu khuf kami sudah rusak. maka
marilah bangkit bersama kami agar kita bisa menumpas Muhammad .”
Mendengar
hal ini orang-orang Yahudi mengatakan: “Sesungguhnya hari ini adalah hari
Sabtu. Dan kalian sudah tahu apa yg menimpa para pendahulu kami ketika mereka
mengada-adakan sesuatu pada hari itu. Namun demikian kami juga tidak akan
berperang bersama kalian sampai kalian memberi jaminan kepada kami.”
Ketika
utusan itu datang menyampaikan hasil kepada mereka orang-orang Quraisy berkata:
“Sungguh benar apa yang dikatakan Nu’aim.” Merekapun mengirim utusan lagi
kepada orang-orang Yahudi dan mengatakan: “Sungguh kami demi Allah tidak akan
menyerahkan apapun kepada kalian. Keluarlah bersama kami sampai dapat
menghabisi Muhammad .”
Orang-orang
Quraizhah berkata pula: “Sungguh benar apa yg dikatakan Nu’aim.” Lalu kedua
saling mengejek.
Demikianlah
akhirnya terjadi salah paham di antara mereka dan saling tidak mempercayai.
Sehingga masing-masing dari mereka menuduh terhadap yang lainnya sebagai
berkhianat.
Pertolongan Allah SWT berupa
Angin Topan
Pada
suatu malam, badai datang. Angin topan mengacak-ngacak perkemahan pasukan
Ahzab. Mereka ketakutan, menyangkan Kaum Muslimin akan datang menyerang pada
saat itu. Abu Sufyan segera memerintahkan mereka kembali ke Mekkah. Begitu juga
dengan Kabilah Gatafan.
Muslim
meriwayatkan dengan sanad-nya dari Hudzaifah bin al-Yaman ra, ia berkata:
“Pada
suatu malam dalam situasi perang Ahzab, kami bersama Rasulullah saaw merasakan
tiupan angin yang sangat kencang, dan dingin mencekam. Kemudian Rasulullah saw
bersabda: “Adakah orang yang bersedia mencari berita musuh dan melaporkannya
kepadaku, mudah-mudahan Allah menjadikannya bersamaku pada Hari Kiamat.“ Kami
semua diam, tak seorang pun dari kami menjawabnya. Rasulullah saw mengulangi
pertanyaan itu sampai tiga kali. Kemudian berkata:”Bangkitlah wahai Hudzaifah,
carilah berita dan laporkanlah kepadaku.“ Maka tidak boleh tidak aku harus
bangkit, karena beliau menyebut namaku. Nabi saw berpesan: “Berangkatlah mencari
berita musuh dan janganlah engkau melakukan tindakan apapun.“ Ketika aku
berangkat dari sisinya aku berjalan seperti orang yang sedang dicengkeram
kematian, hingga aku tiba di basis mereka. Kemudian aku lihat Abu Shofyan
sedang menghangatkan punggungnya di perapian. Lalu aku pasang anak panah di
busur untuk memanahnya, tetapi aku segera teringat pesan Rasulullah saw,
“Janganlah engkau melakukan tindakan apapun.“ Kalau aku panahkan pasti akan
mengenai pahanya. Kemudian aku kembali dengan berjalan seperti orang yang
sedang dalam cengkeraman maut. Setelah aku datang kepada Nabi saw dan
menyampaikan berita tentang kaum Musyrikin, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyelimuti aku dengan kainnya yang biasa dipakai untuk shalat. Malam
itu aku tidur sampai pagi dan dibangunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam seraya berkata, “Bangun, hai tukang tidur.“
Ibnu
Ishaq meriwayatkannya dengan tambahan : Kemudian aku masuk di kalangan kaum
Musyrikin, ketika angin dan tentara-tentara Allah sedang mengobrak-abrik
mereka, menerbangkan kuali, memadamkan api, dan menumbangkan perkemahan.
Kemudian Abu Shafyan bangkit seraya berkata: “Wahai kaum Quraisy, setiap orang
hendaknya melihat siapa teman duduknya?“ Hudzaifah berkata: “Kemudian aku
memegang tangan orang yang berada di sampingku lalu aku bertanya kepadanya:
“Siapakah anda?“ Dia menjawab: “Fulan bin Fulan”. Selanjutnya Abu Shofyan
berkata: “Wahai kaum Quraisy, demi Allah swt, kalian tidak mungkin lagi dapat
terus berada di tempat ini. Banyak ternak kita yang mati. Orang-orang Bani
Quraidlah telah menciderai janji dan kita mendengar berita yang tidak
menyenangkan tentang sikap mereka. Kalian tahu sendiri kita sekarang sedang
menghadapi angin taufan yang hebat. Karena itu, pulang sajalah kalian, dan aku
pun akan berangkat pulang.“
Pada
keesokan harinya seluruh kaum Musyrikin kembali meninggalkan medang perang, dan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersama para sahabatnya kembali ke
Madinah.
Kaum
Muslimin segera menyebut Syukur atas pertolongan Allah SWT. Bertambahlah
keimanan mereka dan kepercayaan bahwa Allah SWT selalu memenuhi janji-Nya.
Dalam
perang Khandaq ini yang gugur sebagai syuhada dari kalangan kaum muslimin
sekitar sepuluh orang.
Hukuman bagi Pengkhianat Yahudi
Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat kembali ke Madinah
serta meletakkan senjata mereka.
Namun Jibril ‘alaihissalam menemui beliau yang sedang mandi di rumah Ummu Salamah dan berkata: “Engkau sudah meletakkan senjatamu? Sesungguhnya para malaikat belum meletakkan senjata mereka. Majulah menyerang mereka ini yakni Bani Quraizhah. maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru:
Namun Jibril ‘alaihissalam menemui beliau yang sedang mandi di rumah Ummu Salamah dan berkata: “Engkau sudah meletakkan senjatamu? Sesungguhnya para malaikat belum meletakkan senjata mereka. Majulah menyerang mereka ini yakni Bani Quraizhah. maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru:
مَنْ
كَانَ سَامِعًا مُطِيْعًا، فَلاَ يُصَلِّيَنَّ الْعَصْرَ إِلاَّ بِبَنِي
قُرَيْظَةَ
“Siapa yang mendengar dan taat maka janganlah dia shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.”
“Siapa yang mendengar dan taat maka janganlah dia shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.”
Tinggallah
Bani Quraizah sendiri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya
segera mengepung kaum Yahudi tersebut selama 25 hari. Ketika harapan makin
tipis, Pimpinan Bani Quraizah, Ka’ab bin Asad, melontarkan 3 pilihan pada
kaumnya: (1) menyerah dan mengikuti agama Islam yang dibawa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam; (2) Membunuh kaum wanita dan anak-anak, kemudian
berperang melawan Umat Islam; atau (3) Tunduk kepada keputusan Muhammad.
Pilihan
mereka adalah yang ketiga.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempercayakan persoalan ini pada Sa’ad bin Mu’az.
Beliau memerintahkan mereka untuk melucuti senjata dan turun dari benteng.
Sa’ad memutuskan mereka yang terlibat kejahatan perang akan dihukum mati,
sedangkan kaum wanita dan anak-anak ditawan. Harta benda dibagikan pada Kaum
Muslimin. Sebuah keputusan yang disetujui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Beberapa Ibrah
Peperangan
ini juga terjadi karena pengkhianatan dan tipu muslihat orang-orang Yahudi.
Merekalah yang menggerakkan menghasut dan menghimpun golongan (Ahzab).
Kejahatan dan pengkhianatan ini tidak cukup dilakukan oleh orang-orang Yahudi
Bani Nadlir yang telah diusir dari Madinah. Bahkan Banu Quraidlah pun yang
masih terikat perjanjian bersama kaum Muslimin kini telah melakukannya. Padahal
tidak ada satu pun tindakan kaum Muslimin yang mengundang mereka untuk
melanggar perjanjian tersebut.
Kita
tidak perlu mengulas kembali peristiwa pengkhianatan ini, karena
pengkhianatan-pengkhianatan seperti ini telah menjadi catatan sjearah yang
sudah dikenal pada setiap jaman dan tempat.
Sekarang,
mari kita kembali kepada peristiwa-peristiwa yang telah kami bentangkan dalam
peperangan ini, untuk mencatat beberapa pelajaran dan hukum yang terkandung di
dalamnya.
1.- Di antara sarana perang yang digunakan oleh
kaum Muslimin dalam peperangan ini ialah penggalian parit. Perang dengan
menggali parit ini merupakan peperangan yang pertama kali dikenal dalam sejarah
bangsa Arab dan Islam. Karena taktik dan teknik peperangan seperti ini biasanya
dikenal oleh bangsa Ajam (non-Arab). Seperti anda ketahui bahwa orang yang
mengusulkan cara ini dalam perang Ahzab ialah Salman al-Farisi. Rasulullah sa
sendiri mengagumi usulan ini dan segera mengajak para sahabatnya untuk
melaksanakannya.
Ini
merupakan salah satu dari sejumlah dalil yang menunjukkan bahwa, “Pengetahuan
adalah milik kaum Muslimin yang hilang. Di mana saja didapatinya maka mereka
berhak mengambilnya daripada orang lain.“ Sesungguhnya syariat Islam,
sebagaimana melarang kaum Muslimin mengikuti orang lain secara membabi buta,
juga mengajukan kepada mereka untuk mengambil dan mengumpulkan nilai-nilai
kebaikan dan prinsip-prinsip yang bermanfaat di mana saja didapatinya. Kaidah
Islam dalam masalah ini ialah bahwa seorang Muslim tidak boleh mengabaikan
akalnya yang merdeka dan pikirannya yang cermat dalam segala perilaku dan
urusannya. Dengan demikian maka dia tidakakan dapat dikuasai dan dibawah ke
mana saja oleh sistem yang bisa diterima oleh akal sehat dan sesuai dengan
pirnsip-prinsip syariat Islam.
Sikap
yang digariskan Allah swt kepada seorang Muslim ini hanya munculdari sumber
utama yaitu kehormatan yang ditetapkan Allah swt kepada manusia sebagai tuan
(pemimpin) segenap makhluk. Praktek ubudiyah kepada Allah swt dan kepatuhan
tehradap Hukum-hukum Syariatnya hanyalah merupakan jaminan untuk memelihara
kehormatan dan kepemiminan tersebut.
2.- Apa yang telah kami sebutkan tentang kerja
para sahabat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menggali
parit merupakan suatu pelajaran besar yang menjelaskan hakekat persamaan yang
ditegakkan oleh masyarakat Islam di antara seluruh anggotanya. Ia juga bukan
sekedar slogan yang menarik untuk mengelabui masyarakat. Tetapi merupakan asas
yang benar-benar memancarkan semua nilai dan prinsip Islam baik secara lahiriah
ataupun batiniah.
Anda
lihat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kaum
Muslimin untuk menggali parit sementara dia sendiri pergi ke istana mengawasi
mereka dari kejauhan. Beliau juga tidak datang kepada mereka dalam suatu pesta
yang meriah untuk meletakkan batu pertama pertanda dimulainya pekerjaan kemudian
setelah itu pergi meninggalkan mereka. Tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam secara langsung berperan aktif menggali bersama para sahabatnya sampai
pakaian dan badannya kotor bertaburan debu dengan tanah galian sebagaimana para
sahabatnya. Mereka bersahut-sahutan mengucapkan senandung ria, maka beliau pun
ikut bersenandung untuk menggairahkan semangat mereka. Mereka merasakan letih
dan lapar, maka beliau pun yang yang paling letih dan lapar di antara mereka.
Itulah hakekat persamaan antara penguasa dan rakyat, antara orang kaya dan
orang miskin, antara Amir dan rakyat jelata, yang ditegakkan oleh syariat
Islam. Seluruh cabang syariat dan hukum Islam didasarkan kepada prinsip ini dan
untuk menjamin terlaksananya hakekat ini.
Tetapi
janganlah anda menamakan hal ini dengan istilah demokrasi dalam perilaku atau
pemerintahan. Prinsip persamaan dan keadilan ini sama sekali tidak dapat
dipersamakan dengan demokrasi manapun. Karena sumber keadilan dan persamaan
dalam Islam ialah ubudiyah kepada Allah swt yang merupakan kewajibab seluruh
manusia. Sedangkan sumber demokrasi ialah pendapat mayoritas atau mempertuankan
pendapat mayoritas atas orang lain, betapa pun wujud dan tujuan pendapat
tersebut.
Oleh
karena itu, Syariat Islam tidak pernah memberikan hak istimewa kepada golongan
atau orang tertentu. Juga tidak pernah memberikan kekebalan kepada kelompok
tertentu betapapun motivasi dan sebabnya, karena sifat ubudiyah (kehambaan
kepada Allah swt) telah meleburkan dan menghapuskan semua itu.
3.- Dalam peristiwa sirah ini pula terkandung
pelajaran lain yang mengungkapkan potret Kenabian dalam sosok kepribadian Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menampakkan kecintaan para sahabat kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kasih sayangnya kepada mereka. Dan memberikan
contoh lain dari perkara luar biasa dan mukjizat yang dianugerahkan Allah
kepada Nabi-Nya.
Pribadi
Kenabiannya tampak pada perjuangannya menghadapi rasa lapar yang dialaminya
pada saat bekerja bersama para sahabatnya, sampai-sampai beliau mengikatkan
batu pengganjal ke perutnya untuk menghilangkan rasa nyeri dan sakit di
lambungnya akibat lapar. Apakah gerangan yang membuat beliau tahan menghadapi
penderitaan dan kesulitan seperti ini? Adakah karena ambisinya kepada
kepemimpinan? Ataukah karena kerakusannya terhadap harta kekayaan dan
kekuasaan? Ataukah karena keinginannya untuk mendapatkan pengikut yang selalu
mengawalnya setiap saat? Semua itu bertentangan dengan diametral dengan
penderitaan dan perjuangan yang dilakukannya itu. Orang yang tamak atas
kedudukan, kekuasaan atau kekayaan tidak akan tahan bersabar menanggung
penderitaan seperti ini.
Yang
membuatnya sanggup menghadapi semua itu hanyalah tanggung jawab risalah dan
amanah yang dibebankan kepadanya untuk menyampaikan dan memperjuangkannya
kepada manusia dalam suatu perjuangan yang memiliki tabiat seperti itu. Itulah
pribadi Kenabian yang tampak pada kerjanya bersama sahabat ketika menggali
parit.
Sedangkan
kecintaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya dapat
anda lihat jelas dalam sikap responsifnya terhadap undangan Jabir untuk
menikmati hidangan yang hanya sedikit itu.
Sesuatu
yang mendorong Jabir untuk mengundang Nabi saw ialah pemandangan yang
menyedihkan. Yaitu ketika melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengikatkan batu ke perutnya karena menahan lapar. Jabir tidak mendapatkan
makanan di rumahnya kecuali untuk beberapa orang, sehingga dia mengundang
beberapa orang saja.
Tetapi
mungkinkah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan para
sahabatnya bekerja sambil menahan lapar sementara dirinya bersama tiga atau
empat orang sahabatnya beristirahat menikmati hidangan? Sesungguhnya kasih
sayang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya lebih
besar ketimbang kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.
Jabir
terpaksa melakukan tindakan itu, sebenarnya wajar, karena dia sebagaimana
manusia biasa tidak dapat bertindak kecuali sesuai dengan sarana material yang
dimilikinya. Makanan yang ada padanya tidak mencukupi, menurut ukuran manusia
biasa, kecuali untuk beberapa orang saja, sehingga dia hanya mengundang
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beberapa orang sahabatnya.
Namun
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan pernah terpengaruh oleh
pandangan Jabir tersebut. Pertama, karena tidaK mungkin Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengutamakan dirinya daripada para sahabatnya dalam menikmati
hidangan dan istirahat. Kedua, karena tidak mungkin Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyerah kepada faktor-faktor material dan batas-batasnya
yang bisa membelenggu manusia. Tetapi karena Allah swt, semata sebagai Pencipta
segala sebab maka mudah bagi-Nya untuk memberkati makanan yang sedikit sehingga
mencukupi orang banyak.
Demikianlah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memiliki pandangan bahwa dirinya dan
para sahabatnya adalah saling takaful (sepenanggungan). Saling berbagi rasa
baik dalam suka atau pun duka. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyuruh Jabir pulang untuk mempersiapkan makanan bagi mereka,
sementara itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil para
sahabatnya untuk menikmati hidangan besar di rumah Jabir.
Mukjizat
yang terjadi dalam kisah ini ialah berubahnya seekor kambing kecil milik Jabir
menjadi makanan yang banyak dan mencukupi ratusan sahabat, bahkan masih bersisa
banyak sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusulkan kepada
Shahibul bait (istri Jabir) agar membaginya kepada orang lain. Mukjizat yang
mengagumkan ini dianugerahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai penghargaan Ilahi karena cintanya kepada para sahabatnya dan sikapnya
yang tidak mau menyerah kepada faktor-faktor material karena keyakinannya
kepada kekuasaan Allah swt, yang mutlaq.
Apa yang
saya inginkan dalam masalah ini ialah supaya para pembaca menyadari adanya
dukungan Ilahi yang diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melalui sebab-sebab material. Hal itu merupakan salah satu faktor terpentig
untuk menonjolkan pribadi Kenabiannya kepada para pengkaji dan pemangat sirah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Faktor ini dapat kita jadikan sebagai
dalil yang kuat untuk menghadapi mereka yang tidak mau mengakui aspek Kenabian
pada pribadi Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4.- Apakah gerangan hikmah musyawarah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sebagian sahabatnya, untuk menawarkan
perdamaikan kepada banu Ghatfahan dengan imbalan memberikan sepertiga hasil
panen kota Madinah kepada mereka asalkan mereka bersedia menarik dukungannya
kepada kaum Quraisy dan golongan-golongan lainnya? Apakah dalil Syariat yang
dapat dijadikan sebagai landasan pemikiran ini ?
Hikmahnya
ialah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui sejauh mana
para sahabatnya itu telah memiliki kekuatan moral dan sikap tawakal kepada
pertolongan Allah swt pada saat menghadapi kepungan kaum Musyrikin secara
mendadak itu, di samping melihat pengkhianatan yang dilakukan oleh banu
Quraidlah. Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
seperti telah anda ketahui bahwa ia tidak suka menyeret para sahabatnya kepada
suatu peperangan atau petualangan yang mereka sendiri belum cukup memiliki
keberanian untuk memasikunya, atau tidak meyakini segi-segi positifnya. Hal ini
termasuk salah satu uslub tarbiyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang paling menonjol kepada para sahabatnya. Oleh sebab itu, beliau
mengemukakan bahwa pandangan itu bukan ketetapan dari Allah, tetapi sekedar
pandangan yang dikemukakan dalam rangka upaya menghancurkan kekuatan kaum
Musyrikin apabila mereka (para sahabat) tidak memiliki kemampuan untuk
menghadapinya.
Dalil
syariat yang menjadi landasan pemikiran ini ialah prinsip bahwa syura itu
dilakukan pada masalah yang tidak ditegaskan oleh nash. Tetapi setelah itu
tidak berarti bahwa kaum Muslimin boleh memberikan sebagian tanah mereka atau
hasil panen buminya kepada musuh apabila mereka (musuh) menyerangnya, demi
untuk menghentikan serangan. Karena telah disepakati dalam dasar-dasar Syariat
Islam bahwa tindakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat
dijadikan sebagai hujjah (dalil) ialah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya
yang telah dilaksanakannya, kemudian tidak ditentang oleh kitab Allah
(al-Quran). Adapun hal-hal yang masuk ke dalam batas-batas usulan (dalam
permusyawaratan) dan dengar pendapat semata-mata, tidak dapat dijadikan sebagai
dalil. Karena diadakannya musyawarah itu, pertama, mungkin sekedar untuk
menjajagi mentalitas seperti yang disebutkan di atas. Yakni sebagai amal
tarbawi (pembinaan) semata-mata. Kedua, seandainya pun telah dilaksanakan
mungkin setelah itu datang sanggahan dari kitab Allah, sehingga tidak lagi
memiliki nilai sebagai dalil Syariat.
Tetapi
para Ulama risah dalam masalah ini telah menyebutkan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sampai menjadi mengadakan perdamaian dengan
kabilah Ghatfahan. Bahkan sebenarnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah memiliki keinginan untuk berdamai dengan Bani Ghatfahan. Apa yang
diusulkan hanyalah sekedar sebagai manuver dan penjajagan.
Hal ini
kami katakan karena ada sementara pihak di masa sekarang ini yang mengemukakan
pendapat aneh : Bahwa Kaum Muslimin harus membayar jizyah (upeti) kepada
non-Muslim manakala diperlukan. Dengan alasan bahwa Nabi saw pernah meminta
pandangan para sahabatnya ketika perang Ahzab untuk melakukan hal tersebut.
Mungkin
anda bertanya: “Seandainya kaum Muslimin terpaksa karena lemah harus melepas
sebagian harta mereka demi untuk melindungi kehidupan mereka dan khawatir akan
dimusnahkan semuanya, apakah mereka tidak boleh melakukan itu ?
Jawabannya,
banyak sekali kondisi yang menunjukkan betapa harta kaum Muslimin dirampas dan
dijadikan barang rampasan oleh musuh-musuhnya. Banyak kaum kafir yang telah
menyerbu negeri Islam dan menguras kekayaannya. Tetapi kaum Muslimin tidak
menerima kenyataan ini secara suka rela atau karena mengikuti fatwa. Mereka
dipaksa harus tunduk kepada kondisi tersebut. Kendatipun demikian mereka
senantiasa mencari dan menunggu kesempatan untuk melawan musuh mereka. Anda
tentunya tahu bahwa hukum-hukum Syariat Islam ditujukan kepada orang-orang yang
tidak dipaksa, sebagaimana tidak ditujukan kepada anak-anak kecil atau orang
gila.
Oleh
karena itu, adalah keliru dan sia-sia belaka jika hukum taklif itu ditetapkan
kepada orang-orang yang berada di luar batas taklif.
5.- Bagaimana dan dengan sarana apa kaum Muslimin
berhasil memetik kemenangan atas kaum Musyrikin dalam peperangan ini ?
Sebagaimana
kita ketahui bahwa sarana yang digunakan Rasulullah saw dalam peperangan ini
(perang Khandaq) sama dengan sarana yang pernah digunakan dalam perang Badr.
Yaitu sarana mendekatkan diri kepada Allah swt. Sarana inilah yang senantiasa
digunakan Rasulullah saw setiap kali menghadapi musuh di medan jihad. Sarana
yang mutlak harus digunakan oleh kaum Muslimin jika mereka ingin memetik
kemenangan.
Bagaimana
kaum Musyrikin yang berjumlah banyak itu bisa terkalahkan, setelah kaum
Muslimin menunjukkan keteguhan, kesabaran, dan kesungguhan dalam meminta
pertolongan kepada Allah swt. Dapat kita baca dalam penjelasan Allah swt di
dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah swt, (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin taufan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan. Yaitu ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lari perlihatanmu dan hatimu naik mendesak sampai ke tenggorokkan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka .. sampai dengan firman Allah, “Dan Alah yang menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereaka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari peperangan . Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.“ QS al-Ahzab : 9-25
“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah swt, (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin taufan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan. Yaitu ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lari perlihatanmu dan hatimu naik mendesak sampai ke tenggorokkan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka .. sampai dengan firman Allah, “Dan Alah yang menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereaka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari peperangan . Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.“ QS al-Ahzab : 9-25
Sesungguhnya
pertolongan Allah swt yang selalu terulang dalam peperangan-peperangan
Rasulullah saw ini tidak berarti menggalakkan kaum Muslimin untuk melakukan
“petualangan“ dan jihad tanpa persiapan dan perencanaan. Ia hanya menjelaskan
bahwa setiap Muslim harus mengethaui dan menyadari bahwa sarana kemenangan yang
terpenting, disamping sarana-sarana yang lainnya, ialah kesungguhan dalam
meminta pertolongan kepada Allah swt, dan mengikhlaskan ubudiyah hanya
kepada-Nya. Seluruh sarana kekuatan tidak akan berguna apabila sarana ini tidak
terpenuhi secara baik. Jika sarana ini telah dipersiapkan secara memadai oleh
kaum Muslimin maka Allah swt akan memberikan beraneka mukjizat kemenangan.
Jika
bukan karena pertolongan Allah swt dari manakah datangnya angin topan yang
memporak-porandakan tentara-tentara Musyrikin itu sementara kaum Muslimin
tenang tanpa merasakannya? Di pihak Musyrikin angin itu menghempaskan
kemah-kemah mereka, menerbangkan kuali-kuali mereka, dan mengguncangkan hati
mereka. Tetapi di pihak kaum Muslimin ia adalah angin sejuk yang menyegarkan.
6.- Pada
peperangan ini Rasulullah saw tidak sempat shalat Ashar karena kesibukkannya
menghadapi musuh sehingga beliau mengqadla-nya setelah matahari terbenam. Di
dalam beberapa riwayat, selain dari Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa shalat
yang terlewatkan lebih dari satu shalat, kemudian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam melaksanakannya secara berturut-turut di luar waktunya.
Ini
menunjukkan dibolehkannya mengqadlah shalat yang terlewatkan. Kesimpulan ini
tidak dapat dibantah oleh pendapat yang mengatakan bahwa penundaan shalat
karena kesibukkan seperti itu dibolehkan pada waktu itu, namun kemudian
dihapuskan ketika shalat khauf disyariatkan kepada kaum Muslimin, baik yang
berjalan kaki ataupun yang berkendaraan. Tetapi penghapusan itu seandainya
benar bukan terhadap dibolehkannya mengqadlah. Ia hanya menghapuskan bolehnya
menunda shalat karena kesibukkan. Yakni penghapusan bolehnya menunda tidak
berarti juga penghapusan terhadap bolehnya mengqadlah. Dibolehkannya mengqadlah
tetap sebagaimana ketentuan semula. Di samping itu, dalil yang pasti menegaskan
bahwa shalat khauf disyariatkan sebelum peperangan ini, sebagaimana telah
dibahas ketika membicarakan perang Dzatur Riqaa‘.
Di antara
dalil lain yang menunjukkan bolehnya qadlah shalat ialah riwayat yang
disebutkan di dalam Ash-Shahihain bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda pada waktu berangkat kembali ke Madinah dari perang Ahzab.
“Janganlah ada seorang pun yang shalat Ashar (atau Zhuhur) kecuali setelah
sampai di bani Quraidlah.“ Kemudian di tengah perjalanan datanglah waktu shalat
Ashar. Sebagian berkata, “Kami tidak akan shalat sebelum smapai ke sana (Bani
Quraidlah)“. Sedangkan sebagian yang lainnya berkata, “Kami akan shalat, Beliau
tidak memaksudkan itu (melarang shalat)“. Akhirnya kelompok pertama
melaksanakan shalat setelah sampai di Banu Quraidlah sebagai shalat qadlah.
Kewajiban
mengqadlah shalat yang terlewatkan ini sama saja, baik terlewatkan karena
tidur, lalai atau sengaja ditinggalkan. Karena setelah adalnya dalil umum yang
mewajibkan qadlah shalat yang terlewatkan tidak ada dalil yang mengkhususkan
syariat qadlah ini dengan sebab-sebab tertentu. Para sahabat yang meninggalkan
shalatnya di tengah perjalannya menuju Bani Quraidlah itu bukan karena tidur
atau lupa. Oleh sebab itu, adalah keliru jika syariat qadlah shalat yang
terlewatkan ini dikhususkan bagi orang yang tidak sengaja melewatkannya.
Tindakan ini seperti orang yang mengkhususkan qadlah shalat dengan shalat wajib
tertentu saja, tanpa landasan syariat.
Barangkali
ada sebagian orang yang memahami hadits di bawah ini sebagai dalil yang
mengkhususkan keumuman syariat qadlah itu :
“Siapa saja yang shalatnya terlewatkan karena tertidur atau lupa maka hendaklah ia melaksanakan pada waktu ia teringat.“
“Siapa saja yang shalatnya terlewatkan karena tertidur atau lupa maka hendaklah ia melaksanakan pada waktu ia teringat.“
Tetapi
pemahaman ini tidak dapat diterima. Sebab, tujuan utama Hadits ini bukan hanya
memerintahkan orang yang lupa dan tertidur untuk mengqadlah shalatnya, tetapi
tujuannya ialah untuk menegaskan keterangan pada waktu ia teringat. Keterangan
ini menjelaskan bahwa orang yang ingin mengerjakan shalatnya yang terlewatkan
tidak disyariatkan untuk menunggu datangnya waktu shalat tersebut pada hari
berikutnya. Tetapi ia harus segera mengqadlah pada saat ia teringat, kapan
saja. Dengan demikian mafhum mukhalafah dari hadits di atas tidak dapat dibenarkan.
Sumber: al-ikhwan.net,
Ensiklopedi Islam, Vol.3, Sirah Nabawiyah karangan Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan
Al Buthy, alih bahasa (penerjemah): Aunur Rafiq Shaleh, terbitan Robbani Press
0 komentar: